Bayangkan sebuah desa kecil di pelosok Nusantara. Udara pagi masih segar, embun menempel di dedaunan, dan suara burung bersahutan seolah mengiringi langkah seorang guru menuju masjid sederhana di ujung kampung. Di sanalah, makna jihad fi sabilillah menemukan bentuk paling nyata—bukan sekadar angkat senjata, melainkan upaya memudahkan orang lain untuk menjalankan agamanya dengan tenang dan penuh cinta. Di balik rutinitas harian, ada jihad yang tak kasat mata. Guru itu harus rela meninggalkan kenyamanan kota, menghadapi keterbatasan fasilitas, bahkan kadang harus berjuang sendiri tanpa dukungan memadai. Tapi justru di situlah letak kemuliaannya. Ia menjadi pelita di tengah gelap, penuntun di jalan sunyi.
Menyusuri Makna Jihad yang Membumi
Kata “jihad” sering terdengar di berbagai forum, kadang dengan nada tegang, kadang penuh semangat. Namun, pernahkah kita merenung, apa sebenarnya esensi jihad fi sabilillah? Apakah selalu identik dengan pertempuran fisik, atau justru ada makna yang lebih dalam dan membumi?
Dalam pengajian kitab klasik, seorang ulama kharismatik, Kiai Ghofur, pernah berkata, “Jihad itu, pada dasarnya, adalah segala upaya yang membuat seorang Muslim bisa menjalankan agamanya dengan nyaman.” Pernyataan ini sederhana, tapi jika kita gali lebih dalam, ada lapisan makna yang menanti untuk diungkap.
Jihad fi sabilillah, dalam pengertian luas, adalah segala bentuk perjuangan yang memudahkan jalan iman. Mulai dari membangun masjid di pelosok, mengajar anak-anak mengaji, hingga menjaga lingkungan agar tetap kondusif untuk beribadah. Setiap tindakan yang membuat orang lain lebih mudah mendekat kepada Allah, itulah jihad yang sesungguhnya.
Desa, Masjid, dan Guru yang Tak Lelah
Bayangkan suasana masjid di desa terpencil. Bangunannya sederhana, dindingnya mungkin sudah mulai kusam, tapi semangat para jamaahnya tak pernah pudar. Di sana, seorang guru mengaji menjadi tumpuan harapan. Ia bukan hanya mengajarkan huruf-huruf hijaiyah, tapi juga menanamkan nilai-nilai keikhlasan dan keteguhan hati.
Dialog batin sang guru sering kali penuh pergulatan. “Apakah perjuanganku cukup berarti? Apakah anak-anak ini akan tumbuh menjadi generasi yang kuat imannya?” Namun, setiap kali ia melihat senyum polos murid-muridnya, keyakinan itu kembali tumbuh. Bukankah Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
Di balik rutinitas harian, ada jihad yang tak kasat mata. Guru itu harus rela meninggalkan kenyamanan kota, menghadapi keterbatasan fasilitas, bahkan kadang harus berjuang sendiri tanpa dukungan memadai. Tapi justru di situlah letak kemuliaannya. Ia menjadi pelita di tengah gelap, penuntun di jalan sunyi.
Jihad dalam Keseharian: Membuka Jalan, Bukan Menghalangi
Sering kali, kita terjebak pada pemahaman sempit tentang jihad. Padahal, dalam kehidupan sehari-hari, jihad bisa berarti membantu tetangga yang kesulitan, mengelola masjid agar tetap hidup, atau sekadar menjadi teladan dalam bersikap jujur dan adil. Setiap upaya yang memudahkan orang lain untuk beribadah adalah bagian dari jihad fi sabilillah.
Kamu mungkin pernah melihat, di kota besar, masjid-masjid megah berdiri kokoh. Namun, di pelosok, ada masjid yang nyaris mati karena tak ada yang mengurus. Di sinilah jihad menemukan relevansinya. Bukan soal besar atau kecilnya aksi, tapi niat dan keikhlasan di baliknya.
Pernah suatu ketika, seorang pemuda desa rela menyisihkan waktu dan tenaganya untuk memperbaiki atap masjid yang bocor. Ia tak mengharap pujian, hanya ingin memastikan jamaah bisa shalat dengan khusyuk. Bukankah ini juga jihad?
Suara Hati di Tengah Sunyi
“Pak, kenapa Bapak mau tinggal di sini, padahal di kota pasti lebih enak?” tanya seorang anak kecil pada gurunya.
Sang guru tersenyum, matanya menatap jauh ke arah pegunungan. “Nak, hidup itu bukan soal di mana kita berada, tapi seberapa besar manfaat yang bisa kita berikan. Di sini, Bapak merasa lebih dekat dengan Allah karena bisa membantu kalian belajar agama.”
Dialog seperti ini sering terjadi, sederhana tapi penuh makna. Ada kehangatan yang sulit dijelaskan, ada ketulusan yang tak bisa diukur dengan materi. Setiap percakapan menjadi pengingat bahwa jihad bukan sekadar slogan, melainkan aksi nyata yang mengubah hidup banyak orang.
Jejak Jihad di Era Modern
Menurut data Kementerian Agama, masih banyak daerah di Indonesia yang kekurangan guru agama dan fasilitas ibadah. Ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi siapa saja yang ingin berkontribusi. Jihad fi sabilillah di era modern bisa berarti menjadi relawan pendidikan, donatur pembangunan masjid, atau bahkan sekadar menyebarkan kebaikan melalui media sosial.
Analogi sederhana: bayangkan iman sebagai tanaman. Ia butuh tanah subur, air, dan sinar matahari. Jihad fi sabilillah adalah upaya menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan iman itu. Tanpa perawatan, tanaman akan layu. Begitu pula iman, tanpa jihad yang konsisten, ia bisa melemah.
Jihad sebagai Jalan Menuju Kedamaian
Jihad fi sabilillah bukan tentang mencari musuh, tapi tentang membangun kedamaian. Ia adalah proses panjang yang menuntut kesabaran, keikhlasan, dan komitmen. Setiap langkah kecil yang kita ambil untuk memudahkan orang lain beribadah adalah investasi spiritual yang tak ternilai.
Kita bisa mulai dari hal-hal sederhana: membantu membersihkan masjid, mengajak anak-anak mengaji, atau sekadar menyapa tetangga dengan ramah. Setiap aksi, sekecil apa pun, jika diniatkan lillahi ta’ala, akan menjadi bagian dari jihad fi sabilillah.
Menanam Cahaya di Jalan Iman
Pada akhirnya, jihad fi sabilillah adalah tentang memudahkan, bukan mempersulit. Ia adalah seni mencintai sesama, membangun komunitas yang saling mendukung, dan menjaga agar cahaya iman tetap menyala di tengah tantangan zaman.
Jadi, mari kita renungkan: sudahkah kita menjadi bagian dari jihad fi sabilillah hari ini? Mungkin jawabannya ada pada setiap langkah kecil yang kita ambil, setiap niat baik yang kita tanamkan, dan setiap doa yang kita panjatkan untuk kebaikan bersama.
Karena pada akhirnya, jihad sejati adalah tentang menjadi manusia yang memudahkan jalan orang lain menuju Allah, dengan hati yang lapang dan tangan yang selalu siap membantu.