Siapa sangka kalau ternyata menjadi orang tua itu seperti naik roller coaster yang nggak punya tombol pause? Dua hari lalu, aku nonton kajian Ustadz Faris BQ yang bikin aku terdiam lama. Beliau membongkar 3 kunci rahasia parenting dalam Al-Qur’an yang jarang banget dibahas di buku-buku parenting mainstream. Kunci-kunci ini ternyata udah ada sejak 14 abad lalu, tapi kita sibuk nyari jawaban di tempat lain.
Aku sering mikir-mikir, gimana ya caranya jadi orang tua yang kece di zaman yang serba “Tiktok” ini tanpa kehilangan pegangan? Semua orang tua ingin anaknya tumbuh jadi manusia hebat. Tapi jujur, nggak ada buku manual yang datang bersama kelahiran anak. Nggak ada pop-up notification yang muncul tiap kali kita melakukan kesalahan parenting.
Padahal, kalau dipikir lagi, anak-anak kita ini bukan sekadar penerus marga atau pewaris harta. Mereka adalah amanah dari Allah yang kelak akan kita pertanggungjawabkan. Agak berat ya kedengarannya? Memang. Makanya aku penasaran apa sih sebenarnya konsep parenting dalam Islam yang bisa jadi kompas di era yang serba membingungkan ini?
Nah, ini dia yang menarik dari kajian Ustadz Faris BQ yang aku dengar tempo hari. Ternyata, Al-Qur’an sudah memberikan blueprint super lengkap tentang bagaimana harusnya kita mendidik anak. Dan yang bikin aku terkejut, ternyata ada tiga kunci utama yang sering kita lewatkan.
Bayangkan aja, ketika kita sibuk mencari teknik parenting terbaik dari buku-buku bestseller, ternyata jawabannya sudah ada dalam firman Allah sejak 14 abad lalu. Kayak nyari kacamata yang ternyata ada di kepala kita sendiri. Lucu kan?
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. At-Taghabun: 15)
Ayat ini bukan cuma soal peringatan, tapi juga mengandung kearifan yang dalam. Cobaan di sini bukan dalam artian negatif, melainkan ujian. Allah menguji kita dengan anak, apakah kita bisa menjaga amanah ini dengan baik atau malah mengacaukannya.
Fakta mengejutkannya, dalam parenting Islami, ternyata kita nggak punya kontrol penuh atas hasil akhir dari anak-anak kita. Ini kebalikan dari mindset modern yang bikin kita merasa gagal jika anak kita nggak jadi dokter, insinyur, atau minimal influencer dengan followers jutaan.
Dalam Islam, tugas kita cuma satu: berusaha sebaik mungkin sesuai petunjuk Allah, lalu pasrahkan hasilnya pada-Nya. Sederhana banget, tapi bikin rileks. Nggak perlu jadi orang tua super yang selalu sempurna.
Tunggu dulu, belum selesai. Ada kisah menarik dari Al-Qur’an yang nyambung banget sama topik ini. Ingat nggak cerita tentang Nabi Khidir yang membunuh seorang anak kecil yang bikin Nabi Musa kaget setengah mati?
Nabi Khidir kemudian menjelaskan bahwa anak itu, jika dibiarkan hidup, akan membuat orang tuanya yang shaleh menjadi kufur. Padahal, kedua orang tuanya sudah mendidik dengan baik dan benar. Ini pesan yang kuat bahwa hati manusia adalah milik Allah sepenuhnya.
Oke, sekarang bayangin deh. Kamu udah ngajarin anak shalat dari kecil, udah kirim ke madrasah terbaik, udah kontrol pergaulannya, tapi ternyata dia memilih jalan yang berbeda. Apa artinya kamu gagal? Menurut Islam, belum tentu. Karena hidayah adalah hak prerogatif Allah.
Namun faktanya, ini bukan berarti kita bisa santai-santai aja. Justru karena kita nggak punya kendali penuh, maka usaha kita harus maksimal. Kayak petani yang menanam dengan tekun, meski hasil panen ada di tangan Allah.
Di sinilah letak keunikannya parenting Islami. Kita diajarkan untuk berdiri di antara dua kutub: berusaha sekuat tenaga sambil sepenuhnya berserah diri. Nggak mudah memang, tapi inilah keseimbangan yang sempurna.
Ustadz Faris juga menyinggung tentang cinta orang tua yang kadang kebablasan. Allah memang menjadikan cinta kepada anak sebagai fitrah manusia, seperti dalam firman-Nya:
Tapi cinta ini juga bisa jadi bumerang. Banyak orang tua yang rela mengorbankan prinsip agama demi menyenangkan anak. “Anak saya nggak mau pakai hijab, tapi nggak apa-apa deh yang penting dia bahagia.” “Anak saya pacaran, tapi setidaknya dia jujur sama saya.” Kedengarannya familiar?
Yang bikin aku kepikiran, apa bedanya cinta yang benar dan cinta yang salah? Cinta yang benar adalah yang bermuara pada kebaikan akhirat. Sementara cinta yang salah adalah yang hanya fokus pada kebahagiaan duniawi.
Makanya aku bilang, jadi orang tua itu kayak jadi pilot. Kita harus tau kapan memberi kebebasan dan kapan menarik tuas kontrol. Kalau terlalu bebas, pesawat bisa crash. Kalau terlalu kaku, penumpang bakal stress.
Serius deh, ini crazy. Kita hidup di zaman di mana anak SD sudah pegang smartphone, anak SMP sudah kenal dating apps, dan anak SMA bisa jadi influencer dengan penghasilan lebih besar dari orang tuanya. Bagaimana caranya mendidik mereka dengan nilai-nilai Islam tanpa bikin mereka merasa alienated dari dunia modern?
Jawabannya terletak pada fitrah. Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, artinya mereka punya kecenderungan alami untuk beriman dan berbuat baik. Tugas kita bukan mengubah mereka, tapi melindungi dan menumbuhkan fitrah itu.
Fitrah ini seperti bibit pohon. Sudah punya potensi untuk tumbuh menjadi pohon yang rindang dan berbuah. Tapi tetap butuh air, pupuk, dan perlindungan dari hama. Itulah peran kita sebagai orang tua.
Menariknya lagi, Allah berfirman dalam surat At-Tahrim ayat 6:
Ayat ini kayak alarm kebakaran yang terus berbunyi mengingatkan kita betapa kritisnya tugas parenting. “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” Bukan cuma “pastikan anakmu dapat nilai bagus” atau “jadikan anakmu orang sukses.” Skala prioritasnya jelas: selamatkan mereka dari api neraka dulu, baru urusan lainnya.
Hal menarik yang sering terlewat, ternyata kita perlu jadi role model terlebih dahulu. Perhatikan urutan kata dalam ayat itu: “peliharalah dirimu (dulu) dan (baru kemudian) keluargamu.” Ini mirip instruksi di pesawat terbang: pasang masker oksigen untuk dirimu sendiri dulu, baru bantu anakmu.
Kejutan besarnya: kita nggak bisa ngajarin anak untuk shalat tepat waktu kalau kita sendiri sering bolong. Nggak bisa nyuruh anak jujur kalau kita sering bohong “demi kebaikan”. Anak-anak punya radar built-in yang bisa mendeteksi inkonsistensi dan kemunafikan dengan akurasi tinggi.
Oke, sekarang bayangin lagi. Sebagai orang tua Muslim di era digital, kita ini kayak nahkoda kapal yang berlayar di samudera yang belum terpetakan. Badai media sosial, arus deras konten negatif, dan karang-karang ideologi asing mengancam di mana-mana.
Tapi kapal kita punya kompas yang nggak pernah error: Al-Qur’an dan Sunnah. Kita punya peta yang detail: pengalaman generasi salaf. Dan kita punya radio komunikasi langsung dengan “pusat komando”: doa.
Jika direnungkan lebih jauh, kenapa banyak orang tua yang memilih navigasi sendiri padahal semua perangkat ini sudah tersedia? Mungkin karena kita sendiri belum yakin dengan rute yang harus ditempuh. Atau mungkin karena kita terlalu tergiur dengan janji-janji pelabuhan lain yang kelihatannya lebih menarik.
Di sinilah letak keunikannya menjadi orang tua Muslim. Kita punya blueprint yang komprehensif untuk mendidik anak, tapi tetap fleksibel untuk diterapkan di berbagai zaman dan kondisi. Islam nggak pernah melarang kita untuk belajar metode parenting modern, selama landasan tauhid dan akhlak tetap kuat.
Makanya aku bilang, parenting Islami itu bukan anti-modernitas. Justru sebaliknya, parenting Islami adalah cara paling modern karena beradaptasi dengan fitrah manusia yang nggak pernah berubah meski zaman terus berubah.
Meski begitu, ini semua nggak akan bekerja kalau kita cuma ngedengerin kajian tanpa aksi nyata. Aku jadi ingat ungkapan lama: “Anak-anak mungkin lupa apa yang kau katakan, tapi mereka nggak akan pernah lupa bagaimana perasaan mereka bersamamu.”
Nah, inilah rahasia parenting yang jarang dibahas: quality time. Bukan cuma kuantitas waktu, tapi kualitasnya. Lima belas menit fokus total bermain dengan anak lebih berharga daripada lima jam bersamanya tapi mata kita tetap nempel di layar smartphone.
Aku pernah baca penelitian yang bilang bahwa anak-anak menerjemahkan cinta melalui waktu. Kalau kita selalu sibuk dan nggak punya waktu untuk mereka, mereka menerjemahkannya sebagai “aku nggak penting bagi orang tuaku.”
Berdasarkan pengalaman, ternyata menurut Rasulullah SAW, bermain dengan anak juga bentuk ibadah. Beliau sering menggendong cucunya di pundak, bermain dengan mereka, dan bahkan membiarkan mereka naik ke punggungnya saat sujud. Ini dari Nabi yang memimpin umat, mengajar, dan bahkan memimpin perang! Kalau beliau bisa luangkan waktu, masa kita nggak?
Di sinilah letak keunikannya parenting dalam Islam. Kita didorong untuk membangun hubungan yang intim dengan anak-anak kita. Hubungan yang didasari cinta, dihiasi ketulusan, dan dilandasi kesadaran bahwa mereka adalah amanah dari Allah.
Bicara soal paradoks, kita hidup di zaman di mana semua orang punya pendapat tentang cara mendidik anak. Dari nenek tetangga sampai influencer random di TikTok. Tapi di tengah semua kebisingan itu, suara yang paling perlu kita dengarkan adalah suara Al-Qur’an dan teladan Rasulullah SAW.
Pada akhirnya, kita semua ingin anak-anak kita tumbuh menjadi manusia yang shaleh, bahagia, dan bermanfaat. Tapi kita sering lupa bahwa menciptakan generasi berkualitas bukan tentang mendesain robot sempurna, melainkan tentang menjaga fitrah mereka dan menumbuhkannya dengan cinta dan iman.
Mark my words, 5 tahun lagi, 10 tahun lagi, atau bahkan 20 tahun lagi, anak-anak yang tumbuh dengan pondasi iman yang kuat akan jadi benteng terakhir kemanusiaan di tengah dunia yang semakin materialistis dan individualistis.
Pertanyaannya sekarang, kamu masih mau mendidik anak hanya untuk sukses di dunia, atau untuk bahagia di dunia dan akhirat?