Aneh ya, di zaman serba digital kayak sekarang, duit bisa datang dari mana aja. Bahkan, kadang-kadang, dari tempat yang nggak pernah kita bayangin sebelumnya. Kayak Netflix, tapi versi dompet: tiba-tiba saldo nambah, eh, ternyata dari investasi bodong. Ironisnya, di era teknologi canggih ini, modus haram makin kreatif. Pernah denger cerita orang yang tiba-tiba jadi sultan gara-gara nipu? Nah, ini dia yang bikin gue kepikiran.
Tau nggak sih feeling waktu dapet transferan gede, tapi jantung deg-degan karena tahu itu bukan hasil keringat sendiri? Ada kasus viral, pelaku investasi bodong meraup belasan miliar, dan sebagian duitnya ditransfer ke rekening istrinya. “Itu rezeki,” katanya. Plot twist-nya di sini: bener nggak sih, rezeki haram itu masih disebut pemberian Allah?
Oke, sekarang bayangin. Lu lagi nongkrong di warung kopi, tiba-tiba ada temen cerita, “Gue dapet duit banyak, tapi jalannya nggak halal.” Langsung deh, suasana jadi micro-suspense. Semua orang nahan napas, nunggu jawaban. Di sinilah letak keunikannya: rezeki itu, menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi, artinya “bagian”. Bukan cuma soal halal-haram, tapi soal apa yang bisa dimanfaatkan. Jadi, secara bahasa, rezeki itu ya segala sesuatu yang kita terima, entah dari jalan lurus atau belok.
Tapi hold on. Menurut Aswaja, rezeki itu segala sesuatu yang sah dimanfaatkan, baik halal maupun haram. Serius deh, ini crazy. Bahkan harta hasil tipu-tipu pun, secara hakikat, tetap masuk kategori rezeki. Ada dalilnya, lho. Allah berfirman dalam QS. Hud ayat 6:
Nah, ini dia yang menarik. Menurut Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, semua yang dimakan manusia, baik halal maupun haram, itu tetap rezeki. Tapi jangan salah kaprah, ya. Bukan berarti Islam membolehkan cari duit dari jalan haram. Status halal-haram tetap wajib diperhatikan. Jadi, kalau ada yang bilang, “Yang penting rezeki, bro!"—lu boleh ketawa kecil, tapi jangan langsung percaya.
Oke, sekarang kita deep dive santai. Di masyarakat Indonesia, kata rezeki itu udah kayak mantra. “Rezeki udah diatur Tuhan,” katanya. Tapi, biasanya yang dimaksud itu rezeki halal. Kalau dapet dari jalan haram, langsung deh, stigma negatif nempel. Padahal, secara syariat, rezeki itu ya segala sesuatu yang bisa dimanfaatkan. Tapi, jangan dijadikan pembenaran buat ngambil yang haram, ya. Wisdom bomb: halal-haram itu urusan lain, bro.
Ngaku deh, siapa yang nggak pernah kepikiran, “Kalau rezeki udah diatur, kenapa masih ada yang cari jalan pintas?” Jawabannya simpel: manusia itu makhluk penasaran. Kadang, godaan shortcut lebih menggoda daripada proses panjang. Tapi, cobain deh, nunggu download file 1GB pake wifi tetangga. Virtue apaan coba? Sabar itu mahal, bro.
Yang lebih gila lagi, di era medsos, cerita soal rezeki haram bisa viral dalam hitungan detik. Ada yang bangga, ada yang malu-malu, ada juga yang denial. Tapi, di balik itu semua, ada pelajaran penting: jangan pernah remehkan proses. Rezeki halal itu kayak kopi tubruk—prosesnya lama, tapi rasanya nendang. Rezeki haram? Kayak kopi instan—cepet, tapi nggak ada soul-nya.
Makanya gue bilang, hidup itu pilihan. Mau jadi sultan dadakan atau pejuang rezeki halal? Pilihan ada di tangan lu. Tapi inget, setiap pilihan ada konsekuensinya. Islam nggak pernah melarang kita jadi kaya, tapi caranya harus bener. Jangan sampai, demi gengsi, kita lupa sama prinsip.
Nah, ini dia cliffhanger-nya. Pertanyaannya sekarang, lu masih mau ambil jalan pintas demi rezeki? Atau mau jadi pejuang rezeki halal yang sabar dan konsisten? Next time kalau dapet tawaran “investasi kilat”, inget-inget cerita ini. Pada akhirnya, kita semua bakal dipertanggungjawabkan atas apa yang kita terima dan gunakan.
Serius deh, ini bukan cuma soal duit. Ini soal integritas, soal cara kita memaknai hidup. Lucunya, semakin kita cari shortcut, semakin jauh dari kebahagiaan sejati. Jadi, wisdom bomb penutup: rezeki itu bukan cuma soal jumlah, tapi soal berkah dan cara mendapatkannya. Share dong kalau lu setuju bahwa rezeki halal itu lebih nendang daripada rezeki haram!