Tau nggak sih feeling waktu pasangan kita tiba-tiba bilang “Mas, kok uang kita cepet banget habisnya ya?” tepat di akhir bulan, sementara gajian masih seminggu lagi? Rasanya seperti ditampar kenyataan bahwa kita belum jago-jago amat mengatur lalu lintas uang dalam rumah tangga. Padahal katanya, pernikahan itu bukan cuma soal cinta, tapi juga soal rekeningnya yang sehat.
Ada quote menarik dari David Bach, penulis buku keuangan yang masuk New York Times Bestseller List. Dia bilang, “Kebanyakan pasangan sebenarnya tidak butuh konselor pernikahan, tapi butuh penasihat keuangan.” Kalimat itu nancep banget di hati, karena faktanya, salah satu pemicu terbesar konflik rumah tangga memang soal duit.
Aku jadi mikir-mikir, kalau di Islam sendiri, pengelolaan keuangan keluarga itu nggak sekadar soal siapa yang nyari uang dan siapa yang mengatur pengeluaran. Ada nilai-nilai yang lebih dalam yang perlu kita pahami sebagai pondasi dalam mengelola pundi-pundi rezeki yang Allah titipkan.
Ternyata, prinsip-prinsip yang disampaikan oleh pakar keuangan dunia seperti David Bach pun banyak yang sejalan dengan ajaran Islam. Bedanya, dalam Islam, manajemen keuangan keluarga bukan sekadar alat untuk mencapai kekayaan, tapi juga sebagai sarana ibadah dan ujian keimanan kita.
Allah SWT berfirman dalam Surah At-Taghabun ayat 15:
Ayat ini mengingatkan kita bahwa harta adalah ujian. Dan seperti ujian pada umumnya, kita perlu persiapan dan strategi yang matang untuk bisa “lulus” dengan nilai memuaskan. Nah, berikut lima prinsip mengelola keuangan keluarga yang bisa bikin rumah tangga kita makin harmonis dan berkah.
Selaraskan Tata Nilai Keuangan
Bayangkan deh kamu naik mobil bareng pasangan. Kamu pengen belok kanan, tapi pasangan maksa belok kiri. Yang ada bukan cuma berdebat di perempatan, tapi bisa-bisa nyasar ke tempat yang nggak direncanakan, atau lebih parah lagi, mogok di tengah jalan karena kehabisan bensin gara-gara muter-muter nggak jelas.
Hal yang sama berlaku untuk keuangan keluarga. Kalau kamu sibuk nabung buat masa depan anak, sementara pasangan sibuk belanja barang branded, ya nggak akan ketemu titik temunya. Konflik pun siap menghampiri.
Menariknya lagi, dalam Islam, tata nilai keuangan keluarga punya fondasi yang jelas. Prioritasnya adalah memenuhi kebutuhan dasar (dharuriyat), lalu kebutuhan sekunder (hajiyat), dan terakhir kebutuhan tersier (tahsiniyat). Kalau pasangan udah sepakat dengan urutan prioritas ini, setengah pertempuran udah dimenangkan.
Jarang yang tahu bahwa Rasulullah SAW sendiri mengajarkan kita untuk mendiskusikan masalah keuangan dengan pasangan. Beliau selalu bermusyawarah dengan istri-istrinya dalam berbagai hal, termasuk urusan harta. Ini contoh nyata bahwa dalam Islam, transparansi dan kesepakatan bersama dalam keuangan keluarga itu sangat penting.
Coba deh mulai dari hal sederhana. Duduk bareng pasangan, tulis lima nilai terpenting dalam hidup kalian masing-masing, lalu bandingkan. Dari situ, temukan nilai-nilai yang bisa disatukan sebagai kompas keuangan keluarga. Mungkin kalian akan menemukan bahwa kestabilan finansial, pendidikan anak, atau persiapan masa depan adalah nilai-nilai yang sama-sama kalian junjung tinggi.
Bayar Diri Sendiri Dulu
Aku dulu selalu mikir kalau nabung itu dilakukan kalau ada sisa uang di akhir bulan. Ternyata, ini adalah salah satu kesalahan fatal dalam manajemen keuangan keluarga. Nyatanya, dengan pola pikir seperti itu, hampir nggak pernah ada yang tersisa buat ditabung.
Islam mengajarkan kita tentang konsep “infaq” yang dilakukan di awal, bukan dari sisa. Ketika kita menerima rezeki, sebelum dibelanjakan, kita dianjurkan untuk menyisihkan sebagian untuk zakat, sedekah, dan tentu saja, tabungan untuk masa depan.
Di sinilah letak keunikannya ajaran Islam dalam hal keuangan. Kita diajarkan untuk “membayar Allah” terlebih dahulu melalui zakat dan sedekah, baru kemudian mengalokasikan untuk kebutuhan kita. Konsep ini mirip dengan prinsip “pay yourself first” yang dipopulerkan oleh David Bach, hanya saja dalam Islam, prioritas pertama adalah hak Allah dan hak orang lain, baru kemudian hak diri kita.
Anehnya, banyak dari kita yang terbalik-balik prioritasnya. Kita bayar tagihan kredit, belanja bulanan, jajan, liburan, dan seabrek kebutuhan lainnya dulu. Kalau ada sisa, baru deh mikir buat nabung atau sedekah. Padahal, dengan pola seperti ini, hampir dijamin kita nggak akan pernah bisa menabung secara konsisten.
Solusinya? Terapkan “autodebet berkah”. Begitu gajian, langsung potong 10-20% untuk tabungan dan 2,5% untuk zakat (kalau sudah mencapai nisab). Sisanya baru dipakai untuk kebutuhan sehari-hari. Dengan cara ini, kita “memaksa” diri untuk hidup dengan 77,5-87,5% dari pendapatan, sambil memastikan masa depan keuangan tetap aman.
Coba bayangkan, kalau sejak awal menikah kita sudah menerapkan prinsip ini, berapa banyak tabungan yang sudah terkumpul sekarang? Mungkin sudah cukup untuk DP rumah, atau bahkan biaya umrah bersama keluarga.
Pisahkan Rekening, Satukan Tujuan
Bicara soal paradoks, salah satu yang sering bikin bingung pasangan baru adalah soal rekening. Harus gabung atau pisah? Kalau digabung, siapa yang pegang? Kalau dipisah, gimana pembagian tanggungan keluarga?
David Bach menyarankan agar pasangan memiliki tiga jenis rekening: rekening pribadi suami, rekening pribadi istri, dan rekening bersama. Konsep ini ternyata sejalan dengan prinsip Islam yang mengakui hak kepemilikan individu, meski dalam ikatan pernikahan.
Dalam Islam, harta suami dan istri tetap menjadi milik masing-masing, kecuali yang secara suka rela disatukan sebagai harta gono-gini. Nabi Muhammad SAW sendiri tidak pernah mengambil alih harta Khadijah r.a. yang notabene adalah seorang saudagar kaya. Ini menunjukkan bahwa Islam menghormati otonomi finansial setiap individu.
Yang bikin terkaget-kaget, ternyata sistem rekening terpisah ini bisa jadi solusi untuk banyak konflik keuangan dalam rumah tangga. Dengan memiliki rekening pribadi, baik suami maupun istri punya ruang untuk mengekspresikan prioritas finansial mereka tanpa harus selalu dipertanyakan oleh pasangan.
Tentu saja, transparansi tetap kunci utamanya. Meski rekeningnya terpisah, pasangan tetap harus terbuka soal jumlah dan penggunaan uang mereka. Tujuannya bukan untuk saling mengontrol, tapi untuk memastikan bahwa keputusan finansial individual tidak bertentangan dengan tujuan keuangan keluarga secara keseluruhan.
Jadi, rekening terpisah bukan berarti “uangku ya uangku, uangmu ya uangmu,” tapi lebih ke “kita punya otonomi dalam batasan tertentu, tapi tetap berkomitmen untuk tujuan bersama.”
Audit Keuangan Rutin Bareng Pasangan
Siapa sangka ternyata audit keuangan itu nggak cuma penting buat perusahaan, tapi juga buat rumah tangga. Bayangkan deh, kalau kita nggak pernah ngecek kondisi keuangan secara rutin, tiba-tiba di tengah bulan bisa kaget karena ternyata uang udah mau habis, padahal masih banyak kebutuhan yang belum terpenuhi.
Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk selalu memperhitungkan harta sebelum dibelanjakan. Dalam sebuah hadits, beliau bersabda: “Kaki seorang hamba tidak akan bergerak pada hari kiamat hingga ditanya tentang empat perkara: tentang umurnya, untuk apa dihabiskan; tentang ilmunya, untuk apa digunakan; tentang hartanya, dari mana diperoleh dan untuk apa dibelanjakan; dan tentang tubuhnya, untuk apa digunakan.” (HR. Tirmidzi)
Hadits ini mengingatkan kita bahwa kita akan dimintai pertanggungjawaban atas harta yang kita kelola. Jadi, audit keuangan rutin bukan sekadar alat untuk menghindari konflik rumah tangga, tapi juga bentuk pertanggungjawaban kita sebagai khalifah yang diberi amanah oleh Allah.
Fakta mengejutkannya, banyak pasangan yang baru sadar ada masalah keuangan ketika sudah terlanjur krisis. Padahal, dengan audit rutin bulanan, mereka bisa mendeteksi “kebocoran” keuangan sejak dini dan mengambil tindakan perbaikan sebelum terlambat.
Jadi, catat semua pemasukan dan pengeluaran, lalu evaluasi bersama pasangan setiap akhir bulan. Lihat pos-pos mana yang mungkin bisa dihemat, dan mana yang perlu ditingkatkan. Dengan begini, kita bukan cuma bisa mengontrol cash flow keluarga, tapi juga membangun kebiasaan berkomunikasi terbuka soal keuangan dengan pasangan.
Prioritaskan Tiga Dana Penting
Ilustrasinya begini: kamu lagi bawa mobil di jalan tol, tiba-tiba ada lampu merah menyala di dashboard. Ada tiga kemungkinan: 1) bensin mau habis, 2) mesin kepanasan, atau 3) rem bermasalah. Ketiga hal ini punya level urgensi yang berbeda, tapi semuanya penting untuk diperhatikan kalau kamu nggak mau terjebak masalah di tengah jalan.
Begitu juga dengan keuangan keluarga. Menurut David Bach, ada tiga dana penting yang harus diprioritaskan: dana pensiun, dana keamanan finansial, dan dana impian keluarga. Dalam perspektif Islam, konsep ini bisa diterjemahkan sebagai persiapan masa depan, jaminan stabilitas, dan sarana untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Fakta menariknya, Allah SWT sudah mengingatkan kita tentang pentingnya perencanaan jangka panjang melalui kisah Nabi Yusuf a.s. yang mengatur persediaan pangan untuk menghadapi masa paceklik tujuh tahun. Ini menunjukkan bahwa dalam Islam, mempersiapkan masa depan finansial bukanlah tanda ketidakpercayaan pada takdir, melainkan bentuk ikhtiar dan kehati-hatian.
Ambil contoh sederhana dari kehidupan Rasulullah SAW. Meski beliau hidup sederhana, beliau tidak pernah melarang sahabatnya untuk mempersiapkan masa depan. Bahkan, beliau mengajarkan keseimbangan dengan sabdanya: “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok.”
Pada akhirnya, mengatur keuangan keluarga bukan cuma soal angka-angka di rekening atau aplikasi pencatat pengeluaran. Ini soal bagaimana kita menyelaraskan nilai-nilai, memprioritaskan apa yang penting, dan membangun komunikasi yang sehat dengan pasangan.
Mengelola keuangan keluarga dalam Islam adalah perpaduan antara kepatuhan pada prinsip syariah, kearifan dalam perencanaan, dan kelembutan dalam berkomunikasi dengan pasangan. Bukan tentang siapa yang lebih banyak menghasilkan uang atau siapa yang lebih hemat, tapi tentang bagaimana kita bersama-sama mengelola amanah yang Allah berikan untuk mencapai falah (kesuksesan) dunia dan akhirat.
Pertanyaannya sekarang, kamu masih mau mengelola keuangan keluarga dengan sistem “yang penting jalan” atau sudah siap menerapkan prinsip-prinsip yang lebih terstruktur dan sesuai dengan nilai-nilai Islam?