Bayangkan sejenak suasana sebuah pesantren di pagi hari. Udara masih segar, suara burung bersahutan, dan di kejauhan, lantunan ayat suci terdengar lembut dari surau kecil di sudut kompleks. Di tengah rutinitas yang tampak sederhana itu, ada sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar aktivitas belajar-mengajar: tarbiyah ruhaniyah, bimbingan ruhani yang menjadi denyut nadi pendidikan pesantren.
Banyak dari kita mungkin mengira, kekuatan utama pesantren terletak pada sistem pengajaran kitab kuning atau kedisiplinan santri. Namun, jika kita menelisik lebih jauh, ada satu elemen yang kerap luput dari sorotan: proses pembentukan jiwa, karakter, dan spiritualitas yang berlangsung secara alami, nyaris tanpa disadari. Inilah yang oleh KH Yahya Cholil Staquf—atau akrab disapa Gus Yahya—disebut sebagai tarbiyah ruhaniyah, elemen utama yang membedakan pesantren dari institusi pendidikan lain.
Kamu pernah bertanya-tanya, mengapa hubungan antara kiai dan santri terasa begitu kuat, bahkan melampaui sekadar relasi guru-murid? Jawabannya terletak pada proses transfer nilai ruhani yang berlangsung dari hati ke hati. Bukan sekadar pengajaran formal, melainkan penanaman adab, keikhlasan, dan kekuatan batin yang diwariskan secara turun-temurun.
Proses ini tidak selalu mudah dijelaskan dengan logika akademik. Ada dimensi batiniah yang hanya bisa dirasakan, bukan sekadar dipahami. Gus Yahya menegaskan, tarbiyah ruhaniyah inilah yang menjadi pondasi kokoh bagi santri dalam menghadapi tantangan zaman. Tanpa bimbingan ruhani, pendidikan pesantren akan kehilangan ruhnya—ibarat tubuh tanpa jiwa.
Menariknya, dalam beberapa dekade terakhir, banyak pesantren justru terjebak dalam euforia modernisasi. Penyesuaian kurikulum, adopsi sistem pendidikan umum, hingga perlombaan membangun fasilitas megah, kadang membuat esensi tarbiyah ruhaniyah terpinggirkan. Gus Yahya, dalam sebuah kuliah umum di Pondok Pesantren Lirboyo, mengingatkan bahwa adaptasi memang penting, tapi jangan sampai mengorbankan inti dari pendidikan pesantren itu sendiri.
Coba kita refleksikan bersama: seberapa sering kita mendengar istilah sanad keilmuan? Dulu, sanad bukan sekadar formalitas, melainkan jembatan ruhani yang menghubungkan santri dengan para ulama terdahulu. Kini, tradisi itu mulai memudar. Sanad disampaikan secara kilat, tanpa pendalaman makna atau penelusuran asal-usulnya. Akibatnya, ikatan ruhani antara kiai dan santri pun kian mengendur.
Padahal, menurut Gus Yahya, yang dibutuhkan saat ini bukan hanya sanad keilmuan, tapi juga sanad ruhani. Proses ini menuntut kesabaran, ketelatenan, dan keikhlasan dari kedua belah pihak. Tidak cukup hanya menghafal teks, tapi juga meresapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Inilah yang membentuk karakter santri sejati: kuat secara intelektual, tangguh secara spiritual.
Fenomena ini tidak lepas dari tantangan zaman. Maraknya kasus kekerasan, bullying, hingga penyalahgunaan otoritas di lingkungan pesantren, menurut Gus Yahya, berakar pada defisit nilai ruhaniyah. Ketika bimbingan batin mulai diabaikan, ruang kosong itu mudah diisi oleh perilaku negatif. Maka, penting bagi kita untuk kembali menggali akar-akar spiritual yang selama ini menjadi kekuatan utama pesantren.
Tentu, membangun tarbiyah ruhaniyah bukan perkara instan. Dibutuhkan komitmen kolektif dari seluruh elemen pesantren: kiai, ustaz, santri, hingga wali santri. Setiap interaksi, sekecil apa pun, menjadi ladang pembelajaran. Dialog batin antara guru dan murid, nasihat yang disampaikan dengan kelembutan, hingga teladan hidup yang ditunjukkan sehari-hari, semuanya berkontribusi pada pembentukan karakter.
Menarik untuk diamati, banyak alumni pesantren yang sukses di berbagai bidang, kerap mengaitkan keberhasilan mereka dengan pengalaman spiritual selama mondok. Bukan hanya soal ilmu, tapi juga kekuatan mental dan ketahanan menghadapi ujian hidup. Mereka membawa bekal ruhani yang tidak mudah goyah, bahkan ketika menghadapi godaan duniawi yang semakin kompleks.
Dalam konteks ini, pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, melainkan ekosistem pembentukan manusia paripurna. Setiap sudut pesantren menyimpan cerita, setiap tradisi mengandung makna. Dari ritual harian seperti tadarus, shalat berjamaah, hingga tradisi ziarah dan khataman, semuanya menjadi bagian dari proses tarbiyah ruhaniyah yang berkesinambungan.
Tentu, tidak semua pesantren mampu menjaga tradisi ini dengan sempurna. Tantangan modernisasi, tekanan ekonomi, hingga tuntutan masyarakat kadang membuat fokus bergeser. Namun, selama ada kesadaran kolektif untuk menjaga ruh pendidikan, harapan itu tetap ada. Gus Yahya mengajak kita semua untuk merenung: apakah bentuk fisik pondok, model pergaulan santri, atau sistem pengajaran yang perlu dibenahi? Atau justru, kita perlu kembali ke akar: memperkuat tarbiyah ruhaniyah sebagai pondasi utama.
Sebagai penutup, mari kita refleksikan bersama: di tengah arus perubahan yang begitu deras, apa yang sebenarnya ingin kita wariskan kepada generasi mendatang? Ilmu yang luas, tentu penting. Keterampilan hidup, jelas dibutuhkan. Namun, tanpa kekuatan ruhani, semua itu akan rapuh diterpa ujian. Pesantren telah membuktikan, tarbiyah ruhaniyah adalah investasi jangka panjang yang tak ternilai. Ia membentuk manusia yang tidak hanya cerdas, tapi juga bijaksana, beradab, dan tahan banting.
Jadi, jika suatu hari kamu berkesempatan mengunjungi pesantren, cobalah amati lebih dalam. Rasakan atmosfer spiritual yang mengalir di setiap sudutnya. Siapa tahu, kamu pun akan menemukan inspirasi baru tentang makna pendidikan sejati—yang tidak hanya membentuk pikiran, tapi juga menumbuhkan jiwa.